Loading...

√ Pengertian Jenis Dan Tingkatan Tema Dalam Penulisan

Tema yaitu inspirasi sebuah cerita. Bila seorang pengarang mengemukakan hasil karyanya, sudah tentu ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Sesuatu yang menjadi pokok duduk kasus atau sesuatu yang menjadi pemikirannya itulah yang disebut dengan tema. Tema tidak disampaikan begitu saja akan tetapi disampaikan melalui sebuah jalinan cerita. Kita hanya akan menemukan tema sebuah kisah sesudah kita membaca dan menafsirkannya. Tema berbeda dengan pokok cerita. Boleh dikatakan tema yaitu pokok pikiran atau pokok duduk kasus yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui jalinan kisah yang dibuatnya.
 Bila seorang pengarang mengemukakan hasil karyanya √ Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema dalam Penulisan
Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema Penulisan 
Cerita atau jalinan kisah yang disusun oleh pengarang tentu memiliki pokok cerita. Tidak mungkin ada kisah tanpa pokok cerita. Kalau hingga terjadi yang demikian itu, jalan kisah tersebut tidak terarah dan tidak tersusun rapi atau bahkan mungkin ceritanya membingungkan lantaran tidak terang apa yang diceritakan. Pokok kisah yaitu sesuatu yang diceritakan oleh pengarang. Ini berbeda dengan tema. Tema terletak di balik pokok kisah tersebut. Itulah sebabnya sanggup dikatakan bahwa tema yaitu pokok pikiran atau pokok duduk kasus di balik pokok cerita.

Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 2005:68) menyebutkan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menompang sebuah karya sastra dan mengandung di dalam teks sebagai struktur yang semantis dan yang menyangkut kesamaan-kesamaan atau perbedaan-perbedaan yang ada. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal lebih bersifat ”mengikat” kehadiran atau absensi peristiwa, konflik, situasi tertentu, termasuk beberapa unsur intrinsik lain, lantaran hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh penggalan kisah itu.

Dengan demikian menentukan tema sebuah karya fiksi (cerpen) haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walaupun sulit ditentukan secara pasti, ia bukanlah makna yang ”disembunyikan”, walaupun belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Kita tahu bahwa tema merupakan sebuah makna pokok dari sebuah fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan yang disebabkan kearena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca dari sebuah cerita. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ”tersembunyi” di balik kisah yang mendukungnya. Karena itu, menyerupai dikemukakan Nurgiyantoro (2005:70) tema sanggup dipandang sebagai dasar cerita, gagasan umum kisah yang dipergunakan untuk menyebarkan sebuah kisah yang dibuat. Dalam kata lain, kisah tentunya akan ‘setia’ mengikuti gagasan dasar yang bersifat umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga insiden insiden konflik dan pemilihan banyak sekali unsur intrinsik yang lain diusahakan mencerminkan metode diskusi yang ril. Sering sekali untuk mengatasi hal ini, guru terpaksa menempuh langkah yang keliru. Nurgiyantoro (2005:84) menyebutkan bahwa cara yang ditempuh guru selama ini yaitu menentukan sendiri atau mendikte tema dari karya sastra yang dibicarakan. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan timbullah ekses yang tidak baik menyerupai tumbuhnya sikap apatis, kurang kreatif, tidak sanggup berfikir dan menganalisis secara kritis, dan lain-lain.
Sebenarnya, untuk memudahkan menganalisis dan menentukan tema karya sastra, khususnya cerpen, berdasarkan Nurgiyantoro (2005:85) sanggup dengan memahami kisah itu, mencari kejelasan inspirasi perwatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Jika hal tersebut sudah terpahami, maka langkah selanjutnya ditempuh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan menyerupai (1) Apa motivasinya, permasalahan yang dihadapi? (2) Bagaimana perwatakan pelakunya? (3) Bagaimanakah sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu? (4) Apa (dan bagaimana cara) yang dipikir, dirasakan, dan dilakukan? (5) Bagaimanakah keputusan yang diambil?
Semua pertanyaan tersebut diajukan untuk memudahkan menarik atau menentukan tema dari sebuah cerita. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan sebelum membaca sebuah kisah (cerpen).

Tema dalam karya sastra banyak sekali ragamnya, contohnya tema perjuangan, kemasyarakatan, kemanusiaan, ketuhanan, kejiwaan, kesenian, dan sebagainya. Tema-tema umum itu cukup luas sehingga para sastrawan mempersempit permasalahan tersebut menjadi lebih jelas. Nurgiyantoro (2005:77) menggolongkan tema ke dalam beberapa kategori yang berbeda, bergantung pada dari segi mana hal itu dilakukan. Jenis Penggolongan tema yang akan dikemukakan berikut disajikan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa berdasarkan Shipley, dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya.

(1) Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional merupakan tema yang sudah sering diungkapkan, bahkan berulang-ulang. Artinya, tema tersebut telah usang dipergunakan dan terdapat hampir dalam banyak sekali cerita, termasuk kisah lama, sehingga daya tariknya terasa berkurang. Hal-hal yang dipandang sebagai tema bersifat tradisional menyerupai kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan tertangkap lembap atau terbongkar juga, tindak kebenaran dan kejahatan akan mendapatkan pembalasannya, cinta sejati menuntut pengorbanan, dan lain-lain sebagianya. 

Walaupun tema tradisional dalam penyajiannya bervariasi, sedikit banyaknya berkaitan dengan kasus kebenaran dan kejahatan. Oleh lantaran itu, tema-tema tradisional merupakan tema yang banyak digemari orang, lantaran sering terkait dengan acara kehidupan sehari-hari, norma-norma yang diyakini, dan banyak pula terkait dengan pandangan (falsafah) hidup. Hal ini terkait dengan kecenderungan orang secara umum, yaitu menyayangi kebenaran dan memusuhi kejahatan. Hal ini sanggup ditemui dalam cerita-cerita Melayu usang menyerupai hikayat, kisah detektif populer, kisah silat, dan lain-lain. Cerita-cerita tersebut pada umumnya mempertentangkan hal yang baik dengan hal yang buruk. Demikian juga dengan cerpen-cerpen yang lebih banyak didominasi nilai-nilai sastra. Cerpen-cerpen jenis ini banyak mengangkat tema tradisional.
Sebaliknya tema nontradisional yaitu tema yang tidak lazim. Satu sisi, kehadiran cerpen yang mengangkat tema nontradisional kurang diminati lantaran mempersoalkan hal-hal yang aneh atau jarang berkaitan dengan acara kehidupan. Tidak jarang pula, dalam cerpen yang mengangkat tema menyerupai ini bercerita perihal kejadian-kejadian yang berakhir dengan insiden atau hal yang tidak diharapkan, menyerupai tokoh protagonis dikalahkan oleh tokoh antagonis. Kebaikan dikalahkan oleh kejahatan, dan lain-lain. Dengan kata lain, cerpen yang mengangkat tema nontradisional memang terasa banyak mengangkat duduk kasus yang tidak diinginkan pembaca terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi terkesan lebih objektif lantaran sering terjadi. Misalnya, koruptor ulung sering terlepas dari tuntutan jaksa penuntut lantaran ia bisa menyuap hakim. Orang miskin kalah dalam kasus lantaran tidak bisa membayar pengacara ulung. Pejabat yang tidak terampil atau tidak jujur menerima kedudukan yang lebih tinggi sementara pejabat yang jujur tidak menerima kesempatan untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih layak, bahkan sering dilukiskan menerima perlakuan yang tidak masuk akal dari atasannya, dan lain-lain.

(2) Tingkatan tema menurut  Shipley

Shipley (dalam Nurgiyantoro, 2005:80) membagi tema atas lima tingkatan, yaitu:

(a) Tema tingkat fisik
Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyarankan dan ditunjukkan oleh banyaknya acara fisik daripada kejiwaan. Dengan kata lain, tema tingkat ini lebih menekankan pada mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh kisah yang bersangkutan. Penekanan dalam cerpen tingkat ini terjadi pada latar.

(b) Tema tingkat organik
Tema tingkat ini lebih cenderung mempersoalkan secualitas dengan banyak sekali masalahnya. Misalnya, penyelewengan atau pengkhianatan, bahkan memungkinkan dipersoalkan kelainan-kelainan, penyimpangan sikap secualitas.

(c) Tema tingkat sosial

Jenis Tema tingkat sosial banyak membicarakan kasus kehidupan bermasyarakat. Cerpen yang memakai tema tingkat sosial ini memandang kehidupan sebagai daerah terjadinya aksi-interaksi insan dengan sesama dan dengan lingkungannya yang mengandung banyak sekali konflik, permasalahan, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian dari tema tersebut. Masalah-masalah sosial itu antara lain kasus pendidikan, ekonomi, kebudayaan, politik, pengorbanan, perjuangan, cinta, dan lain-lain sebagainya.

(d) Tema tingkat egoik

Dalam karya yang mengangkat tema tingkat egoik terlihat insan digambarkan selain sebagai makhluk sosial juga dipandang sebagai makhluk individu. Artinya, insan selalu menuntut adanya haknya sebagai individu. Masalah individualitas ini antara lain kasus egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap lain yang dimiliki manusia.

(e) Tema tingkat divine
Masalah yang menonjol dalam cerpen yang mengangkat tema tingkat ini yaitu kasus kekerabatan insan dengan Sang Pencipta, kasus religiusitas, atau banyak sekali kasus lain yang bersifat filosofis menyerupai pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

(3) Tema utama dan tema tambahan

Nurgiyantoro (2005:82-83) menyebutkan tema utama (tema mayor) yaitu makna pokok atau utama kisah yang menjadi dasar atau gagasan dasar dari cerita. Untuk menentukan tema pokok sebuah kisah pada hakikatnya merupakan acara memilih, menilai, dan mempertimbangkan, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh sebuah karya tertentu.
Selanjutnya, tema tambahan atau tema minor yaitu makna tambahan yang mendukung makna utama. Makna atau tema tambahan bersifat tersirat pada sebagian besar cerita, atau sanggup juga disebut sebagai makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu saja. Dengan demikian, banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan atau makna pemanis yang mendukung keberadaan tema utama. Penafsiran terhadap tema makna tambahan haruslah dibatasi pada makna-makna yang menonjol saja, punya bukti, dan sanggup dipertanggungjawabkan. Artinya, penafsiran terhadap sebuah makna tertentu pada sebuah karya itu bukan dilakukan secara ngaur.


Sumber http://www.pondok-belajar.com/
Buat lebih berguna, kongsi: