Setelah dikaji secara nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyarankan dan menghendaki dilakukannya penurunan nilai standar kompetensi lulusan (SKL) yang dipatok di angka 55 dalam rentang 1-100 yang digunakan pada Ujian Nasional (UN) tahun 2015. Alasannya, banyak siswa terutama dari sekolah yang mempunyai keterbatasan baik dalam hal sarana, kompetensi guru maupun "intake"/siswa mengalami kesulitan mengejar nilai murni tersebut kalau tidak dengan penambahan nilai sekolah.
Penetapan skor SKL itu memang bukan kewenangannya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, melainkan kewenangan dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kementrian hanya bisa menyarankan kepada BSNP semoga penetapan SKL diperlukan tidak terlalu tinggi.
Berdasarkan asil penilaian dari penyelenggaraan UN 2015 yang digelar Kemendikbud pada bulan April 2015, banyak terdapat siswa yang mendapat nilai kurang dari 55. Misalnya untuk materi ujian matematika, ada 42 persen siswa IPA dan 51 persen siswa IPS tidak bisa mengejar nilai minimal 55 itu.
Dalam penyelenggaraan UN sebelum tahun 2015, nilai yang didapat siswa memang relatif lebih tinggi. Namun tingginya nilai itu disebabkan lantaran ada penggabungan antara nilai UN murni dengan nilai sekolah. Porsi pembobotannya ialah 60 persen nilai unas dan 40 persen nilai sekolah.
Menurut BSNP, SKL untuk Unas 2016 hingga kini belum diputuskan. Apakah masih tetap 55, dikurangi, atau bahkan dinaikkan. Dijelaskan pula bahwa kondisi siswa di seluruh Indonesia beragam. Ada yang kepandaiannya kurang, biasa-biasa, hingga bakir dan bakir sekali. Banyak pihak berpandangan bahwa UN yang baik itu bisa memetakan siswa menurut kemampuannya masing-masinga. Kemudian dari nilai pemetaan yang akurat itu, bisa digunakan siswa untuk pertimbangan melanjutkan pendidikan berikutnya.
Memang, apabila dikaji lebih jauh, bila SKL itu ditentukan secara nasional dengan standar yang sama, pemerintah dirasa sangat tidak adil. Ketidakadilan tersebut sangat beralasan mengingat kondisi kawasan tidak semua sama. Daerah dengan kondisi pendidikan masih rendah bila dipaksa untuk mengejar nilai minimal UN yang sama dengan kawasan yang sudah maju niscaya sangat berat tan tampaknya tidak mungkin. Pemerintah hendaknya memberikan data sebaran kualitas pelayanan pendidikan di Indonesia secara terperinci.
Sumber http://ktsp-sd.blogspot.com
Berdasarkan asil penilaian dari penyelenggaraan UN 2015 yang digelar Kemendikbud pada bulan April 2015, banyak terdapat siswa yang mendapat nilai kurang dari 55. Misalnya untuk materi ujian matematika, ada 42 persen siswa IPA dan 51 persen siswa IPS tidak bisa mengejar nilai minimal 55 itu.
Dalam penyelenggaraan UN sebelum tahun 2015, nilai yang didapat siswa memang relatif lebih tinggi. Namun tingginya nilai itu disebabkan lantaran ada penggabungan antara nilai UN murni dengan nilai sekolah. Porsi pembobotannya ialah 60 persen nilai unas dan 40 persen nilai sekolah.
Menurut BSNP, SKL untuk Unas 2016 hingga kini belum diputuskan. Apakah masih tetap 55, dikurangi, atau bahkan dinaikkan. Dijelaskan pula bahwa kondisi siswa di seluruh Indonesia beragam. Ada yang kepandaiannya kurang, biasa-biasa, hingga bakir dan bakir sekali. Banyak pihak berpandangan bahwa UN yang baik itu bisa memetakan siswa menurut kemampuannya masing-masinga. Kemudian dari nilai pemetaan yang akurat itu, bisa digunakan siswa untuk pertimbangan melanjutkan pendidikan berikutnya.
Ada pihak lain yang mengusulkan supaya standar nilai kelulusan unas dibedakan di setiap daerah. Misalnya nilai di pulau Jawa tetap 55, tetapi di Papua bisa diturunkan sedikit menjadi 50 atau 45. Terkait dengan hal tersebut, meskipun nilai minimalnya beda, tetapi sifat dan penamaannya tetap ujian nasional UN, Karena standar kualitas soal ujiannya ditetapkan secara nasional serta penyelenggaranya juga tetap dilakukan oleh pemerintah pusat.
Memang, apabila dikaji lebih jauh, bila SKL itu ditentukan secara nasional dengan standar yang sama, pemerintah dirasa sangat tidak adil. Ketidakadilan tersebut sangat beralasan mengingat kondisi kawasan tidak semua sama. Daerah dengan kondisi pendidikan masih rendah bila dipaksa untuk mengejar nilai minimal UN yang sama dengan kawasan yang sudah maju niscaya sangat berat tan tampaknya tidak mungkin. Pemerintah hendaknya memberikan data sebaran kualitas pelayanan pendidikan di Indonesia secara terperinci.
Masyarakat dan pihak penyelenggara pendidikan serta para pemerhati niscaya sangat berharap semoga pemerintah segera kebijakan terkait UN 2016 yang sempurna dan berkeadilan. Dan yang lebih khusus lagi mengenai Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang tidak terlalu tinggi dan tidak ditetapkan dengan standar sama secara nasional.
Sumber http://ktsp-sd.blogspot.com
Buat lebih berguna, kongsi: