“Kakak.. kerennya itu si El-Kahfi!”, seru adikku dengan mimik penuh kagum.
Seseorang menimpali, “apa pekerjaannya? Nggak usah kau sasaran kalau ia cuma mahasiswa, tidak bisa dimintai uang. Target cowok itu yang kaya-kaya, yang sudah punya modal memang dari orangtuanya”.
Aku hanya membisu mendengar. Sejujurnya saya tersinggung. Aku gres saja menikah sebulan kemudian dengan seorang pemuda. Dia masih semester akhir, mengejar gelar Sarjana Keperawatannya. Dan aku? Aku juga sementara semester selesai di Akademi Analis Kesehatan.
Dalam kesendirian, saya sering merenung. Mengapa saya menerimanya begitu saja ketika ia datang?. Mengapa saya tidak menolaknya? Atau paling tidak menunda ijab kabul dengan alasan kuliah. Seperti kebanyakan mahasiswa lain. Tapi ah, tidak wah itu namanya. Tidak fantastis. Justru inilah ketika yang tepat, menangkap bola yang datang. Menikah di ketika masih kuliah, so what ghitu loh?. Selain lebih bisa menjaga kehormatan diri, ada alasan lain yang lebih fundamental. Alasan yang sering kusampaikan pada suamiku di saat-saat kami sedang berdua saja.
Kak Ismail, umurnya terpaut tiga tahun dariku, yang selama ini ku kagumi dalam diam, balasannya sah menjadi penggalan dari hari-hariku. Dia tiba ke rumah di ketika cinta dalam hatiku sedang mekar-mekarnya. Tepat beberapa bulan sesudah Ramadhan, semenjak doa-doaku mengalir deras meminta dirinya pada Rabb-ku.
Saat ia datang, orangtuaku menyerahkan semua keputusan padaku.
“toh kau sendiri yang akan menjalaninya”, kata mereka padaku. Mereka sudah tahu perasaanku pada lelaki itu. Hatiku sudah mentok padanya. Jangan tanyakan padaku mengapa. Pernahkah engkau menyukai seseorang tanpa tahu alasan mengapa engkau menyukainya?. Ya, ibarat itulah aku.
Terngiang kembali kata-kata itu, “Nggak usah kau sasaran kalau ia cuma mahasiswa, tidak bisa dimintai uang. Target cowok itu yang kaya-kaya, yang sudah punya modal memang dari orangtuanya”. Pernyataan yang betul-betul menantang. Tantangan untuk segera bangkit. Sering sesak rasanya dada ini mendengar kata-kata ibarat itu, atau yang senada. Namun apa daya, memang begitulah keadaannya.
Allah sesuai persangkaan kita kepada-Nya, iya kan?. Tunggulah sebentar lagi, akan kami buktikan. Dengan santunan Allah tentunya. Semua hanya butuh kesabaran. Dia seorang perawat, dalam darahnya juga mengalir darah saudagar, warisan dari kedua orangtuanya. Aku sendiri Analis Kesehatan. Kaprikornus apa yang mesti ku khawatirkan?. Allah bersama kita. Selalu. Insya Allah.
Enam bulan lagi kami wisuda. Setelahnya, saya bisa eksklusif kerja, insya Allah. Dia juga sudah merencanakan akan membuka perjuangan nanti; toko sepatu dan tas. Orangtuanya sudah menyanggupi akan memberi modal. Sembari melanjutkan S2 Fisiologinya. Nanti juga bisa jadi dosen. Lantas, nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kau dustakan?. Kita hanya butuh sedikit bersabar, Sayang...
***
“Sabar”, kata yang begitu gampang kita sampaikan pada orang lain yang tengah dirundung sedih. Namun akan sulit rasanya kalau kita sendiri yang berada di posisi itu.
“bersabarlah”
“kamu tidak mencicipi apa yang saya rasakan”
Benar memang, dengan mudahnya kita menyuruh seseorang untuk bersabar. Tapi akan beda rasanya kalau kita yang berada di posisi itu.
***
Suamiku, belahan jiwaku, aku hanya ingin selalu berada di sisimu, membantumu sebisaku, meringankan beban di pundakmu. Aku hanya ingin menjadi penyejuk hati dan pelipur lara bagimu, menjadi penyemangat dalam hidupmu, saya ingin selalu membantumu semampuku.
Aku senang bisa bersamamu. Sungguh. Aku sangat senang bisa menjadi penggalan dari hari-harimu, menjadi penggalan dari dirimu.
Suamiku, belahan jiwaku. Tahukah engkau alasan mengapa saya memilihmu? mengapa bukan orang lain? sebab saya percaya padamu. Aku percaya engkau yaitu pria yang bertanggung-jawab. engkau yaitu pria yang penyayang. Sebab tidak gampang menghambakan diri pada seorang manusia, menghamba seumur hidup. Karena itu saya menerimamu penjadi imam di kehidupanku. Karena saya percaya padamu, engkau yaitu imam yang baik, yang penyayang, yang akan selalu dicintai oleh Allah.
Aku ingin selalu bisa tampak ceria di hadapanmu, selalu menjadi orang yang paling senang sebab kehadiranmu. Tapi lihatlah, engkau terlalu sering melihatku menangis di bulan awal ijab kabul kita.. maafkan saya yang begitu sering membuatmu sedih..
***
“ada yang ingin kau utarakan ya, Cinta?”
“hmm? Tidak..”
“pasti ada.. iya kan? Apa itu?”
“aku meyayangimu”
“aku juga”
“........”
“selain itu? pasti ada lagi kan?”
“aku sangat menyayangimu`”
“itu yang pertama.. yang kedua apa?”
“yang pertama , saya meyayangimu.. Yang kedua, saya menyayangimu.. Yang ketiga, saya menyayangimu.. Yang keempat, saya sangat menyayangimu”.
Dia mendekapku kemudian menghujaniku dengan ciuman. Aku hanya terseyum, memeluk bersahabat tubuhnya. Seakan tak ingin kulepas. Sambil kuelus-elus punggungnya, saya berkata dengan bunyi tertahan,
“aku hanya ingin menjadi orang yang selalu bisa membantumu. Aku ingin selalu bisa memudahkan urusanmu..”. saya termenung sejenak, sulit melanjutkan. Meski beban itu menyesakkan dada, tapi saya tak ingin mengeluh padanya.
Samar-samar saya mendengar ia berbisik di telingaku, “aku akan selalu mencintaimu”.
Tanpa terasa, butiran bening jatuh membasahi pipiku. Daguku masih bertopang di bahunya yang kekar. Aku tak ingin ia melihatku menangis, Tanpa melepas pelukan, cepat-cepat kuseka air mataku dengan punggung tanganku.
“aku takut suatu ketika nanti terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, sehingga saya tak bisa melaksanakan apa-apa lagi untukmu”
“jangan berfikir yang bukan-bukan.. kita harus selalu berprasangka-baik pada Allah. Yang penting kita tetap berusaha, Cinta..”, ia menciumku beberapa kali.
Aku terdiam. Batinku membenarkan perkataannya. Erat-erat kupeluk tubuhnya, serasa tak ingin ku melepasnya. Ya, Allah.. saya mencintainya karena-Mu.
hasbunallaah wa ni`mal wakiil. Cukuplah Allah bagi kita, Sebaik-baik penolong..
hasbunallaah wa ni`mal wakiil. Cukuplah Allah bagi kita, Sebaik-baik penolong..
Buat lebih berguna, kongsi: