Permasalahan ini memang merupakan masalah khilaf (perbedaan pendapat) diantara Ulama, namun tidak ada salahnya untuk mengetahui status hadits yang menganjurkan untuk mengadzankan bayi dikala lahir :
Hadits pertama:
Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), dia berkata,
Hadits pertama:
Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), dia berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di indera pendengaran Al Hasan bin ‘Ali dikala Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Para perowi hadits pertama ada enam,
yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, ‘Ubaidullah bin Abi Rofi’, dan Abu Rofi’.
Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi problem yaitu ‘Ashim bin Ubaidillah.
Ibnu Hajar menilai ‘Ashim dho’if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi menyampaikan bahwa Ibnu Ma’in menyampaikan ‘Ashim dho’if (lemah). Al Bukhari dan selainnya menyampaikan bahwa ‘Ashim yaitu munkarul hadits (sering membawa hadits munkar).
Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini sanadnya lemah.
Ringkasnya, hadits ini yaitu hadits yang lemah (hadits dho’if).
Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini ibarat At-Tirmidzi. Beliau menyampaikan bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan dia mengangkat hadits ini ke derajat hasan alasannya yaitu ada beberapa riwayat yang semakna yang mungkin sanggup dijadikan penguat. Mari kita lihat hadits kedua dan ketiga.
Hadits kedua:
Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
Penilaian hadits kedua:
Para perowi hadits kedua ada lima,
yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al ‘Alaa’, Marwan bin Salim, Tholhah bin ‘Ubaidillah, dan Husain.
Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho’if (lemah).
Yahya bin Al ‘Alaa’ dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz Dzahabi menilainya matruk (hadits yang diriwayatkannya ditinggalkan).
Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh lembek dan juga dituduh dusta.
Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321 menilai bahwa Yahya bin Al ‘Alaa’ dan Marwan bin Salim yaitu dua orang yang sering menjiplak hadits.
Dari sini sudah sanggup dilihat bahwa hadits kedua ini tidak sanggup menguatkan hadits pertama alasannya yaitu syarat hadits penguat yaitu cuma sekedar lemah saja, dihentikan ada perowi yang dusta. Jadi, hadits kedua ini tidak sanggup mengangkat derajat hadits pertama yang dho’if (lemah) menjadi hasan.
Hadits ketiga:
Dari Ibnu Abbas, dia mengatakan,
أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di indera pendengaran al-Hasan bin ‘Ali pada hari dia dilahirkan maka dia adzan di indera pendengaran kanan dan iqamat di indera pendengaran kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Penilaian hadits ketiga:
Para perowi hadits ketiga ada delapan,
yaitu: Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin Yunus, Al Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu Ma’bad, dan Ibnu Abbas.
Al Baihaqi sendiri dalam Syu’abul Iman menilai hadits ini dho’if (lemah). Namun, apakah hadits ini sanggup jadi penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat perowinya lagi.
Perowi yang menjadi problem dalam hadits ini yaitu Al Hasan bin Amru.
Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 menyampaikan bahwa Bukhari berkata Al Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata Al Hasan itu matruk (harus ditinggalkan). Sehingga Al Hafidz berkesimpulan bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).
Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak ada pengaruhnya kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak sanggup dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi.
Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga yaitu hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’.
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang mempunyai beberapa penguat, tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut tidak sanggup mengangkatnya dari dho’if (lemah) menjadi hasan. Maka pernyataan sebagian ulama yang menyampaikan bahwa hadits ini hasan yaitu suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits wacana adzan di indera pendengaran bayi yaitu hadits yang hasan. Namun, kesannya dia meralat pendapat dia ini sebagaimana dia katakan dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321. Kaprikornus kesimpulannya, hadits yang membicarakan wacana adzan di indera pendengaran bayi yaitu hadits yang lemah sehingga tidak sanggup diamalkan.
Seorang hebat hadits Mesir masa sekarang yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini hafizhohullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan adzan di indera pendengaran bayi yaitu hadits yang lemah. Sedangkan suatu amalan secara setuju tidak sanggup ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha mencari dan membahas hadits ini, namun belum juga mendapat penguatnya (menjadi hasan).” (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96, dinukil dari Hadiah Terindah untuk Si Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah, hal. 22-23)
Dalam epilog kali ini, kami ingin memberikan bahwa memang dalam problem adzan di indera pendengaran bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat). Sebagian ulama menyatakan dianjurkan dan sebagiannya lagi menyampaikan bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya. Dan sehabis membahas evaluasi hadits-hadits wacana dianjurkannya adzan di indera pendengaran bayi di atas terlihat bahwa semua hadits yang ada yaitu hadits yang lemah bahkan maudhu’ (palsu). Kesimpulannya, hadits adzan di indera pendengaran bayi tidak sanggup diamalkan sehingga amalan tersebut tidak dianjurkan.
Keterangan :
• Hadits shohih yaitu hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut yaitu adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
• Hadits hasan yaitu hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
• Hadits dho’if (lemah) yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat shohih ibarat sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih berpengaruh (lebih shohih) dan mempunyai illah (cacat).
• Hadits maudhu’ (palsu) yaitu hadits yang salah satu perowinya dinilai kadzdzib (pendusta) yakni berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Hadits matruk (yang harus ditinggalkan) yaitu hadits yang salah satu perowinya dituduh kadzib (berdusta).
(Dinukil dari http://rumaysho.com/keluarga/kritik-anjuran-adzan-di-telinga-bayi-619)
Sumber http://falah-kharisma.blogspot.com
Buat lebih berguna, kongsi: